LC9gBUg7QN0V3hwrLd8lmNtvyApY7ArMY1rVEPEw

Puisi Penyair Tiongkok atau Cina Terjemahan Amir Hamzah

Puisi Indah dari Cina / Tiongkok Terjemahan Amir Hamzah

Cina atau Tiongkok merupakan negara yang melahirkan banyak sastrawan besar. 

Amir Hamzah telah menerjemahkan beberapa karya penyair Cina/Tiongkok dalam buku Setanggi Timur, sebagaimana tersebut di bawah ini.


Puisi dalam Syiking

Wah! kesahnya, 'kau dengar ayam-jantan, ia memanggil?
Tidak, jawabnya,
Tidak, malam kelam dan tinggi,
Bukan itu kokok ayam, kekasihku....

Pintaku, bangkit, singkapkan tabir
Di tepi, dan tanya olehmu kan langit, sahabatku

Lompat ia: Cilaka kita! Bintang pagi.
Pucat meningkat dari kaki langit ......

Merah fajar – bisiknya takut,
Sekarang musti engkau pergi! Bagaimana aku menanggungnya?

Hi, Sebelumnya engkau pergi, balaskan setan itu,
Kejam ia menceraikan kita!

Ambil busurmu, tujukan panah ini
Ayam-jantan hatinya tepati!

(Syiking)

Tentang Syiking

Syiking merupakan kitab sajak tertua bangsa Tionghoa yang dikumpulkan oleh Konfusius. Buku ini di dunia Barat dikenal pula dengan judul Classic of Poetry, Book of Odes, Shijing, Shih-ching, atau Book of Songs. Syiking merupakan kumpulan puisi atau sajak yang berasal dari abad 10 sampai dengan abad 7 sebelum Masehi.

Arti kata

  • Tabir: tirai penyekat atau penutup dinding.
  • Meningkat: naik

Analisis makna puisi

Saya akan memaknai puisi tersebut sebagaimana di bawah ini. Pemaknaan akan saya dasarkan pada relasi antara suami istri (meski ada kata "sahabat" pada puisi, saya maknai dalam konteks suami adalah sahabat bagi sang istri).

  • Puisi di atas adalah tentang seorang laki-laki yang hendak pergi jauh dari istrinya karena sebab tertentu. Melihat konteks zaman dulu yang masih dalam keadaan peperangan, kemungkinan perginya sang suami adalah untuk berperang.
  • "Ayam jantan memanggil" menyiratkan arti datangnya pagi, demikian pula frase "bintang pagi pucat meningkat dari kaki langit" (bintang pagi = fajar).
  • Cara penyampaian puisi di atas cukup unik karena terkesan titik fokusnya adalah pada ayam jantan, padahal ayam jantan hanya untuk menunjukkan waktu pagi melalui kokoknya. Ayam jantan dianggap sebagai setan yang menceraikan pasangan tersebut sehingga sang istri meminta sang suami untuk memanahnya. Tentu saja, ini bukan permintaan sesungguhnya, melainkan hanya sekadar kecemasan dan ketakutan sang istri terhadap suara ayam yang mengisyaratkan datangnya pagi.
  • Sang istri tampak kesal, cemas, dan takut dengan datangnya hari perpisahan mungkin karena adanya kemungkinan sang suami untuk tidak kembali lagi (hal ini cocok jika konteksnya adalah pergi berperang).


Puisi Karya Li Tai Po

Kalau sebenarnya hidup hanya mimpi
Mengapakah bersusah payah?
Minum aku, puas sepuas-puasnya
Sepanjang hari.

Bila aku tiada kuasa meminum lagi
Sebab penuh perut dan kerongkong
Kujatuhkan badanku di muka pintu
Lalu tidur maha cendera!

Apa kudengar di waktu jaga? Dengar,
Menyanyi burung di dahan kayu
Kutanya, sudahkah musim cuaca –
Kan daku serasa mimpi.

Kicau burung: ya, musim cuaca
Menghalaukan kelam, –
Kutarik napasku, hatiku duka,
Burung menyanyi seraya tertawa.

Sekali lagi kuisi piala
Kuhabiskan ia setamas-tamasnya
Menyanyi aku, hingga purnama menyerak cahaya
Di bulatan kelam di atas sana.

Jika, tiada kuasa aku menyanyi,
Kembali pula kutidurkan diri.
Kuperdulikan apa musim cuaca!
Biarku mabuk, semabuk-mabuknya!

(Li Tai Po)

Tentang Penulis

Li Tai Po atau Li Bai atau Li Po (701 – 762 M) adalah pengembara dan pemabuk yang dianggap sebagai raja pujangga dalam era Dinasti Tang. Li Tai Po merupakan salah satu penyair terbesar Cina.

Arti kata

  • Piala: semacam gelas untuk minum.
  • Cendera: nyenyak.
  • Tamas: habis (pengertian ini terdapat dalam buku Setanggi Timur).
  • Menyerak: menyebar.

Analisis arti puisi

Puisi ini menyiratkan makna ketidakpedulian tokoh aku pada kehidupan. Dia tidak bisa menghadapi kedukaan yang melingkupi hatinya dan melarikan diri dari kenyataan dengan bermabuk-mabukan.


Puisi Karya Thu Fu

Perahuku di atas air berhanyut lambat
Di sungai jernih kulihat bayangnya
Di awang, awan berarak, pengembara bisu
Di air, langit terbayang juga.

Jika awan menudung muka
Bulan biru, halus seperti pikiran
Terlihatku, di hadapanku ia melayang
Bayangan dara.....

Serasa perahuku berhanyut di awang
Rasaku serupa awan melayang –
Tiba-tiba kuketahui: Selaku langit
Becermin di air, demikianlah merupa
Bayang kekasihku di dalam dada.

(Thu Fu)

Tentang penulis

Thu Fu atau Du Fu atau Tu Fu (penulis puisi ini) adalah salah satu penyair terbesar Cina yang hidup pada era Dinasti Tang, hidup antara tahun 712 - 770.

Arti kata

  • Awang: ruang di atas bumi.

Analisis Arti Puisi

Puisi ini bercerita tentang laku seorang pecinta yang rindu akan kekasihnya. Di mana pun dia berada, selalu teringat sang kekasih. Sebagaimana bayangan langit yang tercermin di air, begitu pula citra sang kekasih yang tercermin dalam dada sang pecinta.


Puisi Karya Li Hung Tschang

Dengan sulingku terbuat dari batu jid,
Kulagukan manusia laguan duka,
Tertawa mereka, tiada mengerti,
Penuh duka kutujukan sulingku, yang terbuat
Dari batu jid, ke langit raya dan kusembahkan
Laguku pada Dewa Mulia. Dewa Mulia
Bersuka ria serta menari di hamparan mega
Menurut irama lagu-nyanyiku....

Sekarang laguku kunyanyikan pula pada manusia
Untuk beria; kini mereka mengerti
Kumainkan laguku dengan sulingku, yang terbuat
Dari batu jid....

Jika senda bersandar di dada dinda
Puas meminum serbat keramat:

Mari Maut, dengan tarikan napas penghabisan
Layangkan kami mengawan biru,

Beri kami berdekat-dekat seketi abad
Seperti topan melancar awan.

(Li Hung Tschang)

Arti kata:

  • Laguan artinya nyanyian.
  • Beria artinya bergembira.
  • Senda mungkin berarti saya/hamba.
  • Serbat artinya minuman segar.
  • Keramat artinya suci dan bertuah.
  • Keti artinya seratus ribu.

Analisis Arti Puisi

  • Tokoh aku (sang penyair) adalah seorang peniup seruling. Sering ia meniupkan irama penuh duka yang mendalam. Namun, tidak seorang pun mengerti makna tiupan seruling tersebut. Semua orang menikmati tiupan seruling dan menganggapnya sebagai hiburan semata sehingga mereka tertawa gembira.
  • Apa sebab sang penyair meniup suling dengan irama penuh duka? Ialah karena ia telah ditinggalkan sang kekasih hati untuk selama-lamanya.
  • Lalu pada bait selanjutnya disebutkan bahwa sekarang sang penyair meniup seruling dengan makna gembira, dan orang-orang di sekitarnya mengikuti irama dengan gembira pula.
  • Mengapa peniup seruling merasa bergembira? Karena ia akan segera berjumpa dengan sang kekasih hati. Ia akan mati (mungkin ia sakit dan didiagnosis akan segera meninggal, atau kondisi lain yang menyebabkan ia tahu bahwa ia akan segera mati), dan dengan datangnya kematian ia merasa gembira karena akan segera menyusul sang kekasih ke alam keabadian.


Puisi Karya Wang Seng Yu

Perlahan bulan berjalan, di langit biru-tua
Lampuku telah kupadamkan –
Penuh pikiran hatiku sunyi.

Nangis aku, nangis; air-mataku sayang
Mengalir panas dan pahit di atas pipiku,
Karena engkau jauh, kekasihku,
Dan tiada hendak mengerti,
Bagaimana sakitnya, kalau aku tiada dekatmu.

(Wang Seng Yu)

Analisis Arti Puisi

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang kesepian dan merasa sedih berada jauh dari kekasihnya. Lebih sedih lagi, sang kekasih seakan tiada peduli dengan keadaan dirinya.


Puisi Anonim (Tidak Disebutkan Pengarangnya)

Kilau kemilau, lemah menggeletar, melayang pepatung di atas tasik
Airnya mengaca bergerak tidak –
Demikian getaran hatiku
Di sisi hatimu

Arti kata:

  • Kilau: cahaya yang berkilap, cahaya yang memantul.
  • Pepatung (bahasa Melayu): capung.
  • Tasik: danau.
  • Menggeletar: menggigil, berdebar-debar.

Analisis Arti Puisi

Puisi tersebut bercerita tentang penyair yang mencintai seseorang, namun cintanya tidak berbalas (ada gerakan dari pepatung = hasrat cinta penyair, namun gerakan itu tidak menggerakkan air di tasik = tidak ada sambutan dari orang yang dicinta).

* * *

Artikel ini berkenaan dengan karya puisi Amir Hamzah, salah satu penyair terbaik Indonesia. Amir Hamzah lahir di Tanjung Pura, Langkat pada tanggal 28 Februari 1911 dan meninggal di Binjai, Langkat pada tanggal 20 Maret 1946.

Post a Comment