Puisi Yang Terampas dan Yang Putus adalah puisi karya Chairil Anwar yang diterbitkan di tahun kematian Chairil Anwar, yaitu tahun 1949.
Puisi ini memiliki tiga judul, yaitu (1) Yang Terampas dan Yang Luput, (2) Yang Terampas dan Yang Putus, dan (3) Buat Mirat.
Teks Puisi Yang Terampas dan Yang Putus
Yang Terampas dan Yang Putus
Kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu.
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d.) sampai juga deru dingin
aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang.
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku.
1949
Tentang Puisi Yang Terampas dan Yang Putus
1. Keterangan hak cipta puisi: domain publik di Indonesia.
2. Penjelasan kata-kata
- Mempesiang = membuat menjadi terang; menyiangi
- Menggigir = menggigil (gigir adalah bentuk tidak baku dari gigil)
- daerahku y.a.d. = daerahku yang akan datang
- Karet = Karet Bivak, nama pemakaman umum di Jakarta
3. Nama Mirat yang merupakan salah satu judul puisi ini mengacu pada Sumirat, seorang gadis yang pernah dicintai oleh Chairil Anwar. Suatu ketika, Chairil pergi ke Madiun dan melamar Sumirat, tetapi ditolak oleh ayah Sumirat karena Chairil tidak memiliki penghasilan yang tetap. Selanjutnya, kisah cinta Chairil dan Sumirat tidak lagi berlanjut.
Analisis Puisi Yang Terampas dan Yang Putus
Untuk memahami puisi ini dengan lebih mendalam, penting bagi kita untuk mencermati judulnya secara saksama. Dari judul tersebut, kita dapat menemukan beberapa kata kunci yang memberikan petunjuk akan isi dan makna puisi. Kata-kata seperti "yang terampas", "yang luput", "yang putus", serta "buat Mirat" menjadi kunci penting dalam menelusuri perasaan dan pesan yang ingin disampaikan penyair.
Melalui judul puisi tersebut, tergambar bahwa ada sesuatu yang pernah hilang dari kehidupan sang penyair. Ada bagian dari hidupnya yang terasa terampas, sesuatu yang luput ia miliki, atau mungkin harapan yang akhirnya terputus di tengah jalan. Semua perasaan kehilangan dan penyesalan itu tampaknya ditujukan kepada Mirat, sosok yang pernah menjadi kekasih di masa mudanya. Judul ini mencerminkan jejak emosi yang dalam dan hubungan yang tak terselesaikan.
Makna Per Bagian Puisi
Baris ini menggambarkan suasana batin penyair yang tengah menghadapi sesuatu yang kelam, yaitu kematian. Selain itu, tersirat pula perasaan seolah dirinya diabaikan, seperti angin yang berlalu begitu saja tanpa disadari. Kedua hal itu datang menghampiri penyair secara bersamaan, menciptakan kesan sepi dan hampa dalam hidupnya.
Dalam hati penyair, tersimpan ruang yang dingin dan sunyi, dipenuhi oleh rasa menggigil yang muncul dari kerinduan mendalam. Ia merindukan sosok kekasih masa mudanya, seseorang yang pernah mengisi hari-harinya dengan kehangatan.
Kematian (yang diibaratkan sebagai malam) kian mendekat menghampiri sang penyair. Hati penyair diliputi oleh kehampaan yang sunyi. Rasa sepi itu digambarkan seperti rimba yang biasanya riuh oleh kehidupan, kini menjadi semati tugu yang diam.
Penyair merasakan bahwa ajalnya semakin dekat dan ia mulai menyadari bahwa tempat peristirahatan terakhirnya kelak adalah di sebuah pemakaman bernama Karet. Di sanalah ia akan terbaring dengan tubuh yang dingin.
Dalam kesepiannya, penyair membayangkan dirinya tengah mempersiapkan diri, merapikan hati dan pikiran seandainya kekasih masa mudanya datang menjenguk.
Dia membayangkan momen itu sebagai kesempatan untuk berbagi cerita, menyampaikan banyak hal yang telah lama dipendam.
Namun semua gambaran itu hanyalah ilusi, angan yang tak berwujud.
Tangan yang bergerak lantang seolah menggambarkan kejang-kejang yang menyertai datangnya kematian, sebuah pergerakan terakhir yang menandai berakhirnya kehidupan.
Akhirnya, datanglah ajal menjemput, tubuhnya terdiam dalam keheningan, dan segala cerita pun hanya berlalu, membeku tanpa dapat diungkapkan.
Makna Secara Keseluruhan Puisi
Dalam puisi ini, penyair digambarkan sedang berada di ambang akhir kehidupannya, seolah tengah menanti datangnya kematian.
Dalam keheningan itu, ia larut dalam kenangan akan masa lalunya, teringat pada cinta yang pernah singgah di masa muda. Cinta itu kini telah pergi, terputus, luput, dan terasa seperti sesuatu yang terampas dari hidupnya.
Ia membayangkan seandainya kekasih lamanya datang kembali, dan ia bisa berbagi kisah-kisah baru yang belum sempat diceritakan.
Namun, jauh di lubuk hatinya, ia menyadari bahwa semua itu hanyalah bayangan semu, sebuah harapan yang tak akan pernah nyata. Pada akhirnya, ia pun pasrah ketika ajal datang menjemput.
* * *
Artikel ini berkenaan dengan karya puisi Chairil Anwar, sastrawan paling populer di Indonesia. Chairil Anwar lahir tahun 1922 di Medan dan meninggal di Jakarta tanggal 28 April 1949.
Post a Comment