Puisi Senja di Pelabuhan Kecil adalah salah satu karya terbaik yang pernah diciptakan oleh Chairil Anwar. Puisi ini ditulis untuk Sri Ajati, yang diyakini sebagai sosok wanita yang memiliki tempat istimewa dalam hidup Chairil Anwar
Sri Ajati (atau Sri Ayati) adalah teman wanita Chairil Anwar. Mereka saling mengenal karena sama-sama berkecimpung dalam dunia kesenian. Meski tidak banyak yang diketahui tentang hubungan personal mereka, kedekatan antara keduanya dapat dirasakan dalam karya ini.
Teks Puisi Senja di Pelabuhan Kecil
SENJA DI PELABUHAN KECIL
buat Sri Ajati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua,
pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus
diri dalam mempercaya mau berpaut.
Gerimis mempercepat kelam. Ada
juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu
bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang
ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung,
masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari
pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.
(1946)
Keterangan hak cipta puisi: domain publik di Indonesia.
Analisis Arti Puisi Senja di Pelabuhan Kecil
Puisi Senja di Pelabuhan Kecil mencerminkan perasaan suram dan kesedihan yang mendalam dalam diri penyair, menggambarkan suasana hati yang sedang diliputi oleh kepedihan. Dalam puisi ini, Chairil Anwar menggambarkan perasaan seseorang yang tengah berada dalam momen perpisahan, saat hendak meninggalkan orang yang sangat dikasihi.
Disebutkan bahwa H.B. Jassin (tokoh sastra Indonesia terkemuka) mengatakan bahwa jika kita membaca sajak Senja di Pelabuhan Kecil, maka akan timbul kerawanan di hati, suatu kesedihan yang tidak terucapkan.
Meskipun dalam puisi ini seakan-akan ada cinta yang hilang, sebenarnya Chairil Anwar sama sekali tidak pernah menyatakan rasa cinta kepada Sri Ayati. Mungkin ada semacam kekaguman atau rasa cinta yang terpendam dalam diri Chairil Anwar yang tidak tersampaikan kepada Sri Ayati.
Berikut ini analisis arti puisi Senja di Pelabuhan Kecil
Pada saat itu, sang penyair tidak sedang mencari cinta. Dalam perasaan yang penuh kegelisahan dan kebimbangan, ia memilih untuk menyendiri di sebuah pelabuhan kecil yang sunyi, tempat yang tampaknya menjadi pelarian bagi kegundahan hatinya. Di sana, di tengah-tengah gudang-gudang yang sepi, rumah tua yang mulai rapuh, tiang-tiang yang berdiri kokoh namun kesepian, serta tali temali yang terikat erat, ia merasakan kesendirian yang begitu mendalam.
Suasana sepi. Sunyi. Kapal dan perahu diam dan berlabuh, tidak melaut. Dalam situasi itu, terbersit dalam hati penyair keinginan dan harapan untuk dapat berpaut (terikat) dengan kekasih hatinya.
Saat itu senja. Gerimis membuat langit semakin kelam. Kelepak elang menjadikan hari semakin muram. Desir hari semakin menjauh. Sepi, seakan-akan tanah dan air hilang ombak.
Dia berjalan sendirian menyusuri semenanjung. Pengap harapan dalam dada. Semakin mencekik. Dia terus berjalan. Semakin jauh berjalan, sambil menimbang perasaan dalam dirinya.
Tak terasa dia sudah berada di ujung pelabuhan, di pantai keempat, dan dia mengambil keputusan untuk berpisah, tidak lagi mengharap untuk dapat bersama. Dia menangis tersedu, hingga sedu penghabisan ia mengucapkan selamat jalan dalam hati kepada gadis yang dicintainya.
* * *
Artikel ini berkenaan dengan karya puisi Chairil Anwar, sastrawan paling populer di Indonesia. Chairil Anwar lahir tahun 1922 di Medan dan meninggal di Jakarta tanggal 28 April 1949.
Post a Comment