LC9gBUg7QN0V3hwrLd8lmNtvyApY7ArMY1rVEPEw

Analisis Puisi 1943 Karya Chairil Anwar

1943 (Puisi Chairil Anwar)


Puisi 1943 merupakan puisi karya Chairil Anwar. Puisi 1943 berbentuk puisi bebas, disusun tanpa aturan baku. Puisi ini dituliskan dalam satu bait dan terdiri dari tiga puluh satu baris. Jika kita lihat dalam setiap barisnya, ada yang terdiri dari 5, 4, 3, 2, bahkan 1 kata. Bahasa yang digunakan pun bukan bahasa yang indah-indah, melainkan bahasa sehari-hari.

Teks Puisi 1943

Teks Puisi Chairil Anwar - 1943  Racun berada di reguk pertama Membusuk rabu terasa di dada Tenggelam darah dalam nanah Malam kelam-membelam Jalan kaku-lurus. Putus Candu. Tumbang Tanganku menadah patah Luluh Terbenam Hilang Lumpuh. Lahir Tegak Berderak Rubuh Runtuh Mengaum. Mengguruh Menentang. Menyerang Kuning Merah Hitam Kering Tandas Rata Rata Rata Dunia Kau Aku Terpaku.  (1943)

1943

Racun berada di reguk pertama
Membusuk rabu terasa di dada
Tenggelam darah dalam nanah
Malam kelam-membelam
Jalan kaku-lurus. Putus
Candu.
Tumbang
Tanganku menadah patah
Luluh
Terbenam
Hilang
Lumpuh.
Lahir
Tegak
Berderak
Rubuh
Runtuh
Mengaum. Mengguruh
Menentang. Menyerang
Kuning
Merah
Hitam
Kering
Tandas
Rata
Rata
Rata
Dunia
Kau
Aku
Terpaku.

(1943)

Keterangan hak cipta puisi: domain publik di Indonesia.

Catatan Tentang Puisi

Redaksi puisi 1943 di atas versi Majalah Panji Pustaka (1944), buku Chairil Anwar Pelopor Angkatan '45 cetakan I (1956), dan buku Aku Ini Binatang Jalang (1986).

Dalam versi lain terdapat sedikit perbedaan redaksi, seperti tidak adanya kata “Mengaum” atau adanya penggabungan “Aku/Terpaku” menjadi “Aku terpaku."

Makna Kata

  • Belam, membelam = memasukkan secara paksa, menjejalkan.
  • Reguk = teguk (seperti dalam “meneguk minuman”).
  • Rabu = paru-paru.
  • Candu = kegemaran, zat yang membuat ketagihan, opium, ganja.
  • Rubuh = roboh.
  • Mengguruh = berbunyi seperti guruh.
  • Tandas = habis semuanya, pasti dan tegas sekali.
  • Derak = bunyi yang mirip dahan yang patah.
  • Terpaku = diam tanpa sempat melakukan reaksi.

Analisis Arti Puisi 1943

Dalam puisi 1943, ada satu kata yang digunakan dalam tiga baris, yaitu kata “rata”. Kata yang dipakai ada yang berasosiasi dengan kekuatan (seperti mengaum, mengguruh, dan menyerang), tetapi sebaliknya banyak kata yang menunjukkan kelemahan (seperti lumpuh, luluh, dan patah).

Apa yang hendak dituliskan oleh Chairil Anwar dalam puisi tersebut? Berikut ini analisis saya.

Pada tahun 1943, Indonesia belum menjadi negara yang merdeka. Indonesia masih dijajah dan ditindas. Kekuasaan berada di tangan penjajah. Dalam keadaan yang belum merdeka, bagaimana keadaan bangsa Indonesia? Sengsara.

“Racun berada di reguk pertama”, baris ini menggambarkan suatu kepahitan sekaligus suatu bahaya yang mengancam. Racun berbahaya bagi tubuh. Racun itu berada pada tegukan pertama, artinya bahaya itu mulai masuk ke dalam tubuh. Dengan masuknya racun itu, paru-paru terasa membusuk. Darah pun tenggelam dalam nanah, artinya bahwa tubuh mulai dipenuhi dengan penyakit.

"Malam kelam membelam", begitulah suasana muram di tahun itu. Cara keluar dari kemuraman tidak ada, karena “jalan kaku lurus”, tapi “putus”. Hanya ada satu jalan, namun tidak ada kelanjutannya.

Tokoh aku (atau masyarakat) tidak bisa terlepas dari kondisi penuh penyakit dan kemuraman, seperti halnya seseorang yang tidak bisa lepas dari candu. Arus kemuraman sangat kuat sehingga "tumbang” harapan untuk mendapatkan sesuatu yang baik. “Tangan menadah” seperti pengemis yang meminta-minta atau seperti orang yang berdoa, namun tangan tersebut “patah”, artinya tidak ada harapan. “Luluh”, “terbenam”, “hilang”, “lumpuh”, sempurnalah penyakit dan kemuraman yang menimpa tokoh aku (atau masyarakat).

Dalam kondisi demikian, di suatu waktu tertentu ada semangat yang “lahir” dan mencoba untuk “bergerak”, mengentaskan diri dari keadaan yang suram tersebut. Tapi baru mau bergerak, tubuh sudah “berderak” sebagaimana ranting yang patah, lalu “rubuh”, lalu “runtuh”.

Tak terima dengan keadaan itu, tokoh aku (atau masyarakat) terus mencoba bangkit yang diasosiasikan dengan “mengaum”, “mengguruh”, “menentang”,” menyerang”. Tapi apa daya, yang dihadapi adalah kondisi yang diasosiasikan dengan “kuning” (nanah), “merah” (darah), dan “hitam” (malam kelam). Kondisi tersebut berarti keterpurukan yang bertingkat-tingkat atau keterpurukan yang sangat.

Menghadapi hal yang demikian, semangat tokoh aku (atau masyarakat) menjadi “kering”, “tandas" (habis), dan “rata” dengan tanah (artinya hilang sama sekali). Dalam bait tersebut, kata rata disebut dengan tiga kali. Artinya benar-benar sudah habis. Semua sudah rata. Sisi sini sudah rata. Sisi sana sudah rata. Sisi mana pun sudah rata.

Menghadapi kondisi demikian, tokoh aku (atau masyarakat) hanya bisa pasrah, Baris-baris terakhir puisi mengamini hal ini, yakni bahwa “dunia”, “kau”, dan “aku” hanya bisa “terpaku”. Tidak ada yang bisa berbuat banyak untuk mengentaskan diri dari kondisi penuh penyakit dan kemuraman.

* * *

Artikel ini berkenaan dengan karya puisi Chairil Anwar, sastrawan paling populer di Indonesia. Chairil Anwar lahir tahun 1922 di Medan dan meninggal di Jakarta tanggal 28 April 1949.

Post a Comment